Di dataran kering Sumba, sebuah pulau terpencil di kepulauan Indonesia bagian timur, ras kuda poni yang kuat berperan penting dalam kehidupan masyarakat setempat.
Kuda kecil dan kuat ini, yang dikenal sebagai kuda poni Cendana, lebih dari sekedar hewan pekerja, mereka adalah simbol budaya dan tanda status, dan semakin menarik wisatawan yang ingin merasakan lanskap dan tradisi asli pulau tersebut.
“Kuda adalah bagian dari kehidupan kita di sini,” kata Gerson, yang merawat kuda di sebuah hotel mewah di Sumba. “Mereka digunakan untuk segala macam tujuan, termasuk transportasi dan membawa hasil panen, namun yang paling penting adalah untuk ritual dan tradisi.”
Dikenal dengan makam megalitik kuno dan tekstil ikat yang rumit, Sumba telah lama menjadi tempat terpencil bagi sebagian besar wisatawan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, wisatawan yang suka berpetualang mulai berbondong-bondong datang ke pulau ini karena tertarik pada keindahan dan warisan budayanya.
Salah satu daya tarik uniknya adalah kesempatan menjelajahi pulau dengan menunggang kuda atau menunggangi kuda poni kayu cendana yang khas di sepanjang perbukitan dan pantai terpencil.
Kuda poni cendana lebih kecil dan lebih kuat dari kuda daratan dan dianggap sebagai keturunan kuda Mongolia yang dibawa ke pulau tersebut berabad-abad yang lalu.
Namanya berasal dari pohon cendana yang dulunya melimpah di pulau ini, sebuah sumber daya berharga yang secara historis diperdagangkan di seluruh Asia Tenggara. Kuda poni dikenal karena daya tahannya, mampu beradaptasi dengan baik terhadap medan keras di Sumba, dan sangat dihargai oleh masyarakat setempat.
Kuda poni cendana memiliki nilai budaya yang penting bagi masyarakat Sumba, terutama dalam upacara adat seperti pernikahan dan pemakaman. Salah satu acara terpenting dalam budaya Sumba adalah pasola, sebuah kompetisi seremonial lempar tombak yang diadakan setiap bulan Februari dan Maret bertepatan dengan musim tanam padi.
Pasola adalah olahraga sekaligus acara spiritual, yang berakar pada agama Marap di pulau itu. Selama festival, dua tim kavaleri terlibat dalam pertempuran tiruan, melemparkan tombak ke arah lawan saat mereka berlari melintasi ladang. Tontonan ini menarik banyak orang, dan bagi masyarakat Sumba diyakini bahwa acara ini menjamin panen yang baik.
Pertumpahan darah, baik manusia maupun kuda, dianggap sebagai pertanda nasib baik untuk musim pertanian yang akan datang.
Meskipun penting secara budaya, jumlah kuda poni cendana di pulau ini telah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Tekanan ekonomi dan dampak kehidupan modern membuat semakin sulit bagi keluarga untuk memelihara ternak.
Perkawinan silang dengan kuda berukuran besar, terutama yang diimpor untuk keperluan balap, juga mengancam kemurnian genetik ras tersebut.
“Keluarga-keluarga mulai tidak mampu membiayainya,” kata Gerson, yang hanya memiliki satu nama. “Jumlah anak muda yang belajar cara merawat kuda semakin sedikit dan permintaan akan kuda pacuan yang lebih cepat berdampak pada ras lokal.”
Menurut Robertus Fahik, seorang penulis dan pakar Sumba, kuda memainkan peran penting dalam praktik perkawinan adat Sumba, khususnya dalam tradisi belis, upacara mahar.
“Di Belis, keluarga wajib menyediakan hewan ternak, termasuk kuda, sebagai mahar,” ujarnya. “Setiap kuda di Sumba dicatat dengan cermat, seolah-olah memiliki kartu identitas.”
Menurut Fahik, kuda juga berperan simbolis dalam mengangkut jiwa menuju akhirat. “Jika ada yang meninggal, ada adat yang disebut padang, di mana kuda atau hewan lain dikorbankan, di sana diyakini bersemayam arwah orang yang meninggal,” kata Fahik.
Ia mengatakan, dalam budaya Sumba, derap kuda jantan dan kokok ayam merupakan metafora kepemimpinan dan kewibawaan. “Kuda melambangkan pemimpin yang kuat, dan ayam jantan serta burung gagak melambangkan seseorang yang memberikan rasa hormat dan bimbingan.”
Seiring dengan semakin populernya wisata menunggang kuda, pariwisata telah menjadi sumber kehidupan yang potensial bagi warisan pulau dan kuda poni yang berharga.
“Pariwisata membantu melestarikan warisan kita,” kata Gerson. “Semakin banyak orang mengetahui tradisi kami, mereka akan semakin mendukung upaya kami untuk menjaga tradisi tersebut tetap hidup.”