TDalam bingkai pembuka film dokumenter sutradara Katarina Mourão, suara obonya yang melankolis terdengar saat kamera bergerak dengan lesu melalui sebuah rumah yang agak bobrok yang lorong-lorongnya berwarna biru pucat diwarnai dengan coretan cat putih. Musik yang diputar di layar oleh seorang solois muda mengalir dari ruangan ke ruangan, membawa kita ke seorang pria yang lebih tua. Matanya mengamati bermacam-macam kartu pos menarik yang ditempel di dinding berwarna laut.
Nama pria ini adalah Martim. Artefak yang menguning ini menceritakan kisah perjalanannya yang luar biasa dari Portugal ke Soviet Rusia pada tahun 1979. Terpesona oleh cita-cita sosialis, ia meninggalkan Lisbon dan pindah ke Astrakhan, daerah beriklim dingin di Laut Kaspia di Rusia selatan, tempat ia mendaftar. Namun, idealisme muda Martim dengan cepat terkikis oleh kenyataan pahit hidup sendirian di luar negeri. Hanya setahun kemudian, masalah hubungan dan kekecewaan terhadap rezim komunis memaksa Martim buru-buru kembali ke negara asalnya.
Selain kartu pos dan foto Rusia yang diambil dengan kamera rahasia, Martym merasakan rasa gagal dan malu. Selain berkonfrontasi dengan masa lalu, film Mourão juga memungkinkan adanya dialog antargenerasi antara Martim dan putranya, musisi muda yang muncul di awal. Dia juga punya rahasianya sendiri. Dari perbincangan mereka muncul secercah pengertian dan kasih sayang yang menjadi inti emosional film tersebut.
Berbeda dengan momen-momen memesona tersebut, pemeragaan kembali masa Martim di Astrakhan terasa sangat mengganggu bahkan tidak perlu. Alih-alih selingan yang didramatisasi ini, pengalaman dan hubungan emosional Martim dengan putranya bisa saja cukup untuk membawa berbagai renungan dalam film tersebut.