Mangkuk demi mangkuk, mie kuah menguasai dunia. Sebut saja ramen (seperti orang Jepang) atau ramyeon (seperti orang Korea), hanya sedikit hidangan yang sepopuler mie — segar atau instan, keriting atau pipih — dalam kuah kaldu panas. Ramen, yang dilengkapi dengan topping mulai dari perut babi yang diiris tipis dan telur yang diawetkan dengan kedelai hingga jamur dan minyak cabai, sedang dalam upaya untuk menghilangkan label “tidak sehat” yang telah lama melekat di wilayah di luar Asia Timur. ke kategori “makanan”. Hal ini termasuk di India, tempat restoran-restoran yang fokus pada ramen seperti Naru Noodle Bar di Bangalore sudah memesan beberapa bulan sebelumnya dan, menurut laporan terbaru dari World Instant Noodle Association, mengonsumsi lebih banyak ramen dibandingkan negara lain di dunia. Tiongkok dan Indonesia.
Popularitas yang belum pernah terjadi sebelumnya ini sebagian didorong oleh kenyamanan ramen: semangkuk sederhana membutuhkan air panas dan sebungkus mie instan (mungkin, dengan bahan-bahan seperti mentega atau potongan bacon untuk menambah tekstur dan rasa). Faktor terbesar yang menyebabkan popularitasnya adalah bahwa hal itu dapat disesuaikan untuk memenuhi setiap selera di dunia. Di setiap mangkuk yang memicu keringat, terdapat rasa rumput laut dan bonito yang halus namun kompleks, seperti Ramen Pedas Bulldog yang terkenal, yang telah ditarik dari rak di beberapa negara. Mengenai ramen, tidak ada aturan: foie gras dan coklat adalah pilihan utama, begitu pula bahan-bahan klasik seperti telur rebus, jamur shiitake, dan daun bawang.
Dalam perjalanan ramen, mulai dari makanan kelaparan pasca-Perang Dunia II hingga mie kemasan yang dibuat untuk dunia global pada tahun 1980an dan 1990an hingga hidangan gastronomi abad ke-21, saus rahasia universal: makanan yang cepat beradaptasi. paling lama