Sekarang setelah era digital sudah tidak ada lagi, dapatkah anak-anak membatasi penggunaan ponsel cerdas dan/atau media sosial, setidaknya sampai mereka memiliki kematangan emosi untuk menavigasi dunia online? Ini adalah pertanyaan sentral dalam perdebatan global mengenai seberapa besar akses yang seharusnya dimiliki anak-anak terhadap perangkat digital, bahkan ketika anak-anak tumbuh untuk melindungi mereka dari dampak buruk internet. Di Inggris, sebuah gerakan yang dipimpin oleh orang tua bernama Smartphone Free Childhood berupaya menjauhkan anak-anak dari gawai hingga usia 14 tahun, sementara di Australia, pemerintahan yang dipimpin Anthony Albanese sedang menyusun undang-undang yang melarang penggunaan media sosial. Anak-anak di bawah usia tertentu. Perusahaan teknologi besar juga terpaksa bertindak di bawah tekanan pemerintah dan orang tua: Bulan lalu, Meta memperkenalkan “akun remaja” baru untuk Instagram yang memungkinkan orang tua memiliki kontrol lebih besar atas aktivitas anak-anak mereka di platform tersebut.

Dari sudut pandang “teknologi-positif”, membatasi penggunaan teknologi oleh anak-anak mungkin tampak seperti pelanggaran terhadap hak-hak mereka – kesetaraan kesempatan, informasi, privasi, dan lain-lain. Di dunia yang didominasi oleh perangkat genggam, upaya untuk mem-firewall generasi muda dengan cara ini adalah sebuah kekalahan. Benar juga bahwa masih belum ada bukti konklusif mengenai hubungan antara ponsel pintar, media sosial, dan berkurangnya perhatian, indikator kesehatan mental, serta meningkatnya masalah kesepian di kalangan generasi muda. Gizi buruk, kemiskinan dan kurangnya jaring pengaman sosial. Namun, sulitnya melindungi anak dari bahaya dunia digital tidak boleh dijadikan alasan untuk melalaikan tanggung jawab. Anak-anak sangat rentan terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh ponsel pintar dan media sosial karena sifat neuroplastisitas yang dimiliki anak-anak, sehingga memudahkan mereka untuk mengadopsi teknologi baru ini tanpa memiliki alat emosional dan psikologis untuk menavigasinya.

Lalu, bagaimana kita dapat memastikan bahwa anak-anak dapat terus memperoleh manfaat dari informasi dan sumber daya yang disediakan Internet sambil tetap aman dan sehat? Larangan digital lebih mudah dilakukan di atas kertas dibandingkan dalam praktiknya, seperti yang diketahui oleh setiap orang tua yang memiliki remaja yang berada di bawah pengaruh FOMO (takut ketinggalan). Dan di negara-negara seperti India, yang memiliki kesenjangan digital yang besar, tindakan seperti itu hanya akan memutus kelompok yang sudah rentan, seperti anak perempuan dan anak-anak dari komunitas yang terpinggirkan, dari manfaat revolusi teknologi. Dialog yang lebih luas dan tidak terhambat oleh kesulitan proyek dan tanggung jawab bersama adalah kuncinya – orang tua, sekolah, dan pemerintah harus bekerja sama untuk memastikan masa kanak-kanak lebih aman dan memuaskan.



Source link